BBM Alternatif dari Tumbuhan Sampah

25/04/2013 19:31

Jerami daun tebu, bonggol jagung atau ilalang selama ini hanya kita anggap sebagai sampah yang layak dimusnahkan. Namun siapa sangka, tangan seorang guru kreatif di Jombang, Jawa Timur, mampu menyulap sampah-sampah tersebut menjadi biopremium atau biodiesel pengganti solar yang saat ini langka.
 
Selama beberapa tahun ini, Arif Wibowo, warga Desa Kaliwungu Kecamatan Kota Jombang, Jawa Timur, melakukan berbagai penelitian dan uji coba guna mengubah aneka sampah menjadi biopremium dan biodiesel pengganti solar. Namun, peraih penghargaan Guru Teladan 2008 dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengaku, tidak berani mengklaim hasil kreativitasnya ini sebagai penemuan baru. Sebab menurutnya, di luar negeri, biodiesel dan biopremium sudah marak digunakan masyarakat.
 
Bahkan, Arif tidak segan memberi tahu bagaimana cara mengolah sampah menjadi biopremium dan biodiesel. Menurut Arif, biopremium dan biodiesel dibuat dengan bahan yang sangat melimpah di sekitar kita. Bahan-bahan itu misalnya rumput gajah, jerami (bekas batang padi), ilalang, batang jagung, bonggol jagung, daun tebu, enceng gondok,  biji jarak,  buah bintaro atau rumput-rumputan sampah lainnya.
 
Proses pembuatannya juga sangat mudah. Pertama, rumput dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan mesin penggiling. Setelah itu, masukkan rumput halus tersebut ke dalam wadah khusus dan campur dengan jamur ragi (Sacharomyces cerevice). Jika sudah diaduk hingga rata, fermentasikan campuran rumput, air dan jamur ragi ini ke dalam wadah tertutup selama 14 hari. Kemudian, lakukan proses destilasi, yakni pemisahan air dengan minyak, menggunakan alat yang dirancang secara khusus.
 
Hasil keseluruhan proses ini adalah bioetanol yang selanjutnya dapat diproses lagi menjadi biopremium ataupun biosolar. Untuk membuktikannya, kita juga bisa langsung mencoba menggunakan bahan bakar alternatif tersebut tersebut pada sepeda motor. Sementara biodiesel atau biosolar dapat langsung kita coba untuk menghidupkan mesin diesel.
 
 Arif mengaku, akan membuka diri jika pemerintah berminat mengembangkan inovasinya ini. Namun jika tidak, Arif akan tetap mengembangkan biopremium dan biosolar ini dengan cara bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah pabrik atau perusahaan swasta. Pasalnya, dibandingkan dengan biosolar non subsidi milik Pertamina, biosolar buatan Arif jauh lebih murah. Satu liter dibanderol Rp6.000, sementara solar nonsubsidi milik Pertamina dijual Rp10.600 per liter. Demikian juga dengan biopremium milik Arif, dijual jauh lebih murah dari harga Pertamax.
 
"Meski demikian,  kualitas biosolar maupun biodiesel dari bahan sampah yang ramah lingkungan ini jauh lebih baik. Emisi gas buangnya lebih rendah dan perawatan mesin menjadi lebih terukur," kata Arif.
 
Selama ini Arif sangat prihatin dengan kebingungan pemerintah saat terjadi kenaikan harga minyak dunia. Akibatnya, pemerintah selalu berusaha mengurangi besaran subsidi dan diprotes masyarakat.
 
"Padahal, jika bisa memproduksi biosolar sendiri, nantinya pemerintah tak perlu ambil pusing dengan kenaikan harga minyak dunia yang sering terjadi. Sehingga, kondisi perekonomian dalam negeri bisa tetap stabil," imbuhnya. (okezone.com/ humasristek)

—————

Back